PONOROGO – Memasuki bulan Muharram atau lebih dikenal 1 Suro merupakan momen yang sakral bagi sebagian masyarakat di Pulau Jawa. Mereka percaya, masuknya bulan Suro merupakan waktu yang tepat untuk introspeksi diri dan mengucap syukur kepada Tuhan yang maha kuasa atas limpahan rejeki yang telah diberikannya.
Masyarakat Kabupaten Ponorogo mempunyai salah satu tradisi paling meriah ketika akan memasuki bulan Muharram, yaitu Grebeg Suro. Grebeg Suro sendiri secara harfiah berarti keramaian saat memasuki atau pergantian tahun hijriyah dalam penanggalan Islam.
Terdapat 33 rangkaian acara yang digelar oleh pemerintah Bumi Reog dalam menyemarakkan Grebeg Suro 2018, diantaranya Festival Nasional Reog Ponorogo, Festival Reog Mini, Kirab Budaya, Bedol Pusaka, Pameran Pusaka dan masih banyak lainnya.
Puncak acara Grebeg Suro digelar secara meriah yang menampilakan ratusan penari reog Ponorogo pada malam 1 Suro atau Senin (10/9/2018).
Selain kemeriahan puncak acara Grebeg Suro di Alun-Alun Ponorogo, kemeriahan juga dirasakan oleh masyarakat di sekitar Telaga Ngebel, Ponorogo.
Terletak 30 km dari pusat kota Ponorogo, di telaga ngebel ini juga diselenggarakan Tirakatan, Berdoa, Pagelaran Wayang dan diakhiri dengan kirab 1000 obor berkeliling telaga menanamkan potongan kaki kambing pada ke-empat penjuru telaga dan melarung atau menghanyutkan kepala kambing ke tengah-tengah telaga.
Acara tersebut merupakan tradisi unik masyarakat sekitar yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu guna meminta keselamatan dan rejeki kepada yang maha kuasa.
Pada siang hari, tepat pada 1 Muharram, Selasa (11/9/2018) digelar tradisi Larungan “Buceng Porak” atau gunungan hasl bumi ke tengah telaga.
Larungan Telaga Ngebel merupakan ritual atau tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar Telaga Ngebel sebagai tanda bersih desa. Bagi masyarakat sekitar, larungan lebih dimaknai dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak bertentangan dengan agama yang dianut oleh masyarakat sekitar.
Sebelum di larung, gunungan hasil bumi ini didoakan dan diarak mengelilingi Telaga Ngebel yang dipimpin langsung oleh Bupati Ponorogo, Ipong Muchlissoni, dan para sesepuh desa.
“Selain ucapan syukur kepada yang maha kuasa, Larungan ini juga simbol, membuang atau melarutkan semua hal yang tidak baik selama setahun, untuk menyambut tahun baru yang lebih baik,” ujar Bupati Ponorogo.
Setelah diarak mengelilingi telaga, acara ini diakhiri dengan pelarungan gunungan hasil bumi menuju ketengah telaga menggunakan perahu yang tersedia. Pelarungan ke tengah danau merupakan tantangan tersendiri bagi para panitia untuk menjaga gunungan tetap tegak tanpa tenggelam.
“Larungan Telaga Ngebel ini berdasarkan legenda asal muasal Telaga Ngebel. Tradisi ini bisa menjadi modal untuk memperkuat sektor pariwisata di kabupaten Ponorogo,” jelas Ipong.
Antusiasme masyarakat Ponorogo menyaksikan tradisi Larungan Telaga Ngebel ini begitu luar biasa. Terbukti dengan begitu padat dan penuhnya para penonton di pinggiran telaga menyaksikan tahapan prosesi larungan ini dari awal sampai akhir.
Tak sedikit pula masyarakat yang memperebutkan gunungan yang sudah di larung di tengah danau dengan berenang atau pun menggunakan perahu untuk mendapatkan berbagai macam hasil bumi.
Mereka percaya dengan mendapatkan salah satu hasil bumi di gunungan tersebut, rejeki mereka di tahun baru ini akan semakin berlimpah. Tetapi hal ini merupakan hal yang sangat berbahaya, karena gunungan tersebut dilarung di tengah danau dan rawan akan kapal terbalik maupun kejadian tenggelam.