JAKARTA – Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mengacu pada ASEAN dan PATA dalam manajemen krisis kepariwisataan. Untuk mengantisipasi krisis dan memitigasi dampaknya terhadap kepariwisataan diperlukan sinergi para stakeholder pariwisata, dengan unsur ABCGM (Academician, Business, Community, Government, Media), untuk bisa memulihkan kondisi pasca krisis dengan cepat.
Dalam rangka meningkatkan pemahaman tentang konsep dasar manajemen krisis kepariwisataan, strategi komunikasi krisis, dan mitigasi dampak krisis kepariwisataan, Kemenpar menyelenggarakan Forum Komunikasi Krisis Kepariwisataan (Forkom Krispar) dengan tema ‘Penyusunan Grand Design Manajemen Krisis Kepariwisataan’ yang dibuka Sekretaris Kementerian Pariwisata, Ukus Kuswara, sekaligus memberikan keynote speech kegiatan yang bertempat di hotel AOne, Jakarta Pusat, pada Kamis (12/4/2018).
Forkom perdana ini juga bertujuan untuk memperoleh masukan dari para pakar dan praktisi guna pengayaan penyusunan Grand Design Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK), diantaranya Haryo Satmiko (Wakil Ketua KNKT); Didi Hamzar (Direktur Kesiapsiagaan BASARNAS); Firza Ghozalba dari BNPB, Irwansyah (Pakar Teknologi Komunikasi Digital Universitas Indonesia); Anang Sutono (Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Kawasan Pariwisata), dan Don Kardono (Staf Ahli Khusus Menteri Bidang Komunikasi dan Media).
“Crisis Center Kemenpar telah menggunakan standar internasional untuk menangani krisis, sehingga semua isu negatif bisa di-counter secara cepat untuk mencegah persepsi lain. Dan itu sudah diterapkan ketika peristiwa Bom Thamrin; erupsi Gunung Raung, Gunung Barujari, dan yang terakhir Gunung Agung,” ungkap Ukus Kuswara.
“Forum komunikasi ini sangat penting dilaksanakan untuk mendapatkan masukan dari pihak-pihak yang berwenang dalam penanganan krisis pariwisata, sehingga dapat tercipta Grand Design Manajemen Krisis Pariwisata yang kuat dan nantinya akan lebih mudah memetakan siapa melakukan apa dan bagaimana,” Ukus menambahkan.
Indonesia berada di ring of fire, mempunyai 127 gunung berapi yang merupakan 13% dari total gunung api di dunia. Sebanyak 77 di antaranya adalah tipe A yang artinya memiliki potensi untuk meletus. Jika tidak dikelola dengan baik, pemberitaan erupsi gunung berapi (dan bentuk bencana lainnya) akan berdampak pada pariwisata.
Ukus menegaskan bahwa ‘aman’ sebagai salah satu unsur Sapta Pesona merupakan faktor utama dalam sektor pariwisata. Untuk itu, negara perlu memberikan kepastian keamanan kepada wisatawan, baik dari ancaman bencana alam, politik, terorisme, kesehatan, dan lainnya.
Menurut Staf Khusus Menteri Bidang Komunikasi dan Media, Don Kardono, pariwisata adalah sektor yang bertumpu pada services. Costumer membutuhkan kenyamanan dan setiap bencana menimbulkan ketidaknyamanan. Dalam menghadapi bencana, kita harus tetap tenang dan tidak boleh panik. Tenang dalam artian tidak terburu-buru mengeluarkan statement ke masyarakat serta menjaga ekosistem pariwisata.
Don Kardono menambahkan bahwa era digital sangat ampuh untuk menangani krisis. Meski demikian, dunia digital ibarat mempunyai dua sisi mata pisau, di satu sisi sangat menguntungkan, di sisi lain sangat mengkhawatirkan.
“Digital sangat bermanfaat untuk sisi marketing. Tetapi, untuk sisi bencana, digital menuntut sektor pariwisata untuk ‘bekerja ekstra’, salah satunya karena netizen menganggap informasi bencana sebagai ‘isu seksi’. Esteemed need mendorong mereka untuk menjadi yang pertama mengetahui adanya bencana, menjadi pertama yang meng-upload ke media sosial. Semakin viral hingga menjadi trending topic, semakin senang mereka,” katanya.
“Dari level teknis, pemerintah harus lebih cepat daripada netizen. Jika terlambat, akan semakin banyak sumber berita yang tidak jelas. Seharusnya, yang mengatakan aman itu bukan pemerintah saja, tetapi juga para wisatawan dan netizen. Sehingga persepsi publik berubah,” pungkasnya.
Kepala Biro Komunikasi Publik, Guntur Sakti, menjelaskan bahwa Kementerian Pariwisata melalui focal point Bagian Manajemen Krisis Kepariwisataan terus melakukan pemantauan isu yang berpotensi menjadi krisis pariwisata dan berkoordinasi dengan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan stakeholder terkait untuk mengumpulkan informasi pendukung dan menentukan langkah strategis.
Guntur menambahkan bahwa penanganan krisis kepariwisataan Indonesia mendapatkan apresiasi dari negara-negara anggota ASEAN.
“Kementerian Pariwisata Indonesia ditunjuk sebagai salah satu pembicara dalam pertemuan ASEAN Crisis Communication Meeting (ACCM) yang akan berlangsung di Kuala Lumpur pada 25 – 29 Juni 2018 mendatang. Penunjukan ini terkait dengan paparan Best Practice Tourism Crisis Management, Case: Mount Agung Eruption 2017 yang disampaikan oleh Kemenpar pada ASEAN Tourism Competitiveness Meeting (ATCM) di Laos pada 2 – 5 April 2018 yang lalu,” sebut Guntur.