GenPI News Indonesia

Nomadic Tourism Akan Dongkrak Jumlah Amenitas Pariwisata

JAKARTA – Untuk meningkatkan amenitas pariwisata, Kementerian Pariwisata menyiapkan program nomadic tourism. Kemenpar bahkan siap memberikan insentif bagi industri pariwisata Indonesia yang mau mengembangkan wisata embara ini.

Nomadic tourism adalah jawaban Kemenpar untuk mendongkrak jumlah amenitas pariwisata. Sekaligus mengimbangi pertumbuhan kunjungan wisatawan.

“Sebab tren amenitas di tingkat global beralih ke amenitas berbasis experience. Bila dulu yang dicari adalah hotel berbintang atau non bintang, kini yang banyak diburu seperti specialty lodging, homestay/guesthouses, atau bumi perkemahan glamping,” ujar PIC Program Nomadic Tourism, Waizly Darwin, Senin (12/3).

Hal itu disampaikannya dalam Pra Rakornas Kemenpar yang bertema Digital Destination & Nomadic Tourism, di Ballroom Hotel Harris Vertu, Jakarta.

Waizly menjelaskan, nomadic tourism ini membangun hotel berbintang dengan cara cepat dan modal bersahabat. Sekaligus juga untuk menjawab tantangan jaman now.

“Bila investor membangun hotel konvensional, selain modalnya harus besar, proses pembangunannya juga lama. Dengan memanfaatkan nomadic tourism, investor bisa mendirikan kamar sebagai hotel di mana saja dan kapan saja,” ujarnya.

Kini membangun “hotel berbintang” cukup dengan modal investasi sebesar Rp 70 juta per kamar. “Kamar ini bisa didirikan di daerah-daerah yang memiliki tempat wisata. Kamar hotel juga bisa dipindah bila lokasi dianggap kurang prospektif di kemudian hari,” terang Waizly.

Dalam nomadic tourism, kaum nomad bisa menggunakan amenitas di tenda, hingga menginap di goa. Untuk di Indonesia, kamar hotel bisa berupa karavan, glamping (glamorous camping), dan homepods atau bisa juga berupa seaplane. Menurut listing di Airbnb, glamping model tipe HUTS adalah yang paling populer di Indonesia dengan jumlah 265 properti.

“Daerah perintis tren glamping di Indonesia di antaranya ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Terdapat 87 glamping sites menggunakan tenda, harga rata-rata 77 dolar per malam,” terang Waizly.

Waizly menambahkan, backpacker jaman now banyak yang menjadi nomadic travelers. Di antaranya Glampacker (milenial nomad), Luxpacker (luxurious nomad), dan Flashpacker (digital nomad). Jumlah mereka mencapai 39,7 juta orang di dunia.

Indonesia merupakan destinasi pilihan kaum flashpacker nomad. Canggu (Bali) dipilih sebagai destinasi #1 di dunia untuk para digital nomad oleh nomadlist.com (2017). Sedangkan Ubud #6, Denpasar #14, dan Jogja #74.

“Glampacker yaitu travelers yang mengembara untuk melihat dunia yang Instagramabble, jumlah mereka mencapai 27 juta orang. Luxpacker adalah mengembara untuk melupakan dunia, jumlah mereka ada 7,7 juta orang. Dan Flashpacker adalah mereka menetap sementara di satu tempat sembari berkerja dari mana saja, jumlah mereka mencapai 5 juta orang,” papar Waizly.

Kemenpar rencananya akan menjadikan kawasan wisata Danau Toba pilot project dari nomadic tourism. Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya beralasan, pemilihan Danau Toba selain lantaran merupakan destinasi pariwisata prioritas (DPP), juga lokasinya yang dinilai cocok.

“Banyak spot cantik di Danau Toba. Kami akan kembangkan nomadic tourism di sana dan menyediakan fasilitas seperti karavan, glamping (glamorous camping), dan homepods bahkan seaplane,” ujar Menpar Arief Yahya.

Sesuai karakternya, yaitu nomadic, ketiga fasilitas tersebut juga bisa dipindah-pindah alias tidak permanen. Dengan begitu, nomadic tourism ini sangat cocok dikembangkan di daerah-daerah yang belum tersedia akomodasi seperti perhotelan atau pun homestay.

Menpar pun mendorong industri pariwisata untuk mengembangkan produk wisata nomadic tourism dan memasarkannya.

“Kita di Indonesia punya 17.000 pulau, 70.000 desa, ratusan destinasi indah. Kalau harus membangun hotel konvensional perlu waktu yang sangat lama, homestay pun menurut saya masih kurang cepat. Maka, saya umumkan lagi bahwa saya akan memberikan insentif bagi orang yang masuk ke nomadic tourism,” tutur pria asal Banyuwangi itu.

Menpar meyakini, jika nomadic tourism di Danau Toba sudah berjalan, destinasi lain seperti Wakatobi dan Labuan Bajo juga akan meminta pengembangan wisata yang serupa.

“Kalau kita mau high end semua, atau harus kelas satu, yang cepat ya wisata embara itu. Untuk pasarnya juga saya tidak khawatir, pasti bagus,” pungkas Mempar Arief Yahya.